Monday, October 15, 2012

Bahasa Isyarat kok Unik????



Bahasa isyarat…. Dulunya tak pernah terpikirkan akan bisa bahasa isyarat dan memakainya hampir tiap hari. Dulu pernah belajar bahasa isyarat pada tahun 2009 di UNY. Waktu itu ada workshop bahasa isyarat yang diselenggarakan oleh HIMA (Himpunan Mahasiswa) PLB FIP UNY selama 2 hari. Sehari adalah amteri dan hari berikutnya adalah praktik bahasa isyarat. Ya seru bisa bahasa isyarat waktu itu, karena merasakan hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan.
            
Setelah pelatihan itu, bahasa isyarat tak pernah lagi dipakai. Seperti ilmu-ilmu yang lain apabila tak pernah digunakan pasti akan hilang, ya seperti bahasa isyarat itu. Waktu itu aku benar-benar sudah tak hafal lagi bahasa  isyarat, bahkan abjad!! Ya eman-eman banget.. Nah pada tahun 2011 kalau tidak salah bulan juni akhir aku bertemu mas Jayeng (mantan ketua Gerkatin Solo) dan Agus (Pengurus Gerkatin Solo) di kampus untuk mengajak ke acara Gerkatin Solo, katanya acara sosialisasi bahasa isyarat.
            
Terakhir belajar bahasa isyarat tahun 2009 dan ketemu mas Jayeng tahun 2011. Hmmmm bisa dibayangkan aku belepotan dan gemeteran ngobrol-ngobrol dengan dia. Aku  tak begitu maksud apa yang dia omongkan dan juga sebaliknya. Yang ada di benakku “iiish memalukan bener nih aku anak PLB ga bisa komunikasi sama mereka”. Apalagi waktu itu mas Jayeng tanya nama-nama beberapa temanku untuk diajak ke acaranya. Ngomong “Puji” berubah menjadi “Budi” di kertas mas Jayeng. hadeeeeh -____-“

Selama tahun pertengahan 2011 hingga sekarang sudah mengalami beberapa pengalaman berbahasa isyarat. Memang bahasa isyarat berbeda dengan bahasa kita waktu ngobrol dengan berbicara. Adakalanya dimana letak “Subjek” ditempatkan di “Predikat” dalam struktur SPOK Bahasa Indonesia. Namun dalam bahasa isyarat hal itu adalah wajar dan membuat deaf mengerti. “Setelah acara ini selesai kita pergi ke Gerkatin” à ini adalah pemakaian bahasa kita saat bicara. Namun dalam bahasa isyarat akan menjadi seperti ini “Acara ini habis, kita (pergi) Gerkatin”. Kata “pergi” masuk dalam kurung karena perbedaan yang masing-masing deaf lakukan saat ngobrol.

Bahasa isyarat menggunakan ekspresi untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat sesuatu. “Cewek itu cantik bangeeeet” à berbicara dengan orang pendengar, namun jika dengan isyarat akan menjadi “Cewek itu cantik”. Ya memang terlihat biasa jika ditulis, tapi akan terlihat berbeda jika kita bertemu langsung dengan deaf saat ngobrol. Karena ekspresi “bangeeeet” akan ditampilkan dengan mimik muka yang menunjukkan bahwa cewek itu sangat cantik. Apabila deaf bercerita sedih, maka ekspresi mereka pun akan ikut sedih. Naaah ekspresi adalah hal yang masih sulit aku lakukan, emang dasarnya tak punya ekspresi kali ya -___-“. Masih dalam proses pembiasaan ekspresi saat berbahasa isyarat.

Selain ekspresi, kecepatan deaf berisyarat juga ditentukan oleh dengan siapa mereka berbicara. Apabila mereka berbicara dengan orang dengar yang sudah bisa berisyarat maka mereka cenderung akan lebih cepat pergerakan tangannya. Tapi apabila dengan orang pendengar yang belum bisa atau yang sedang belajar bahasa isyarat maka kecepatan bahasa isyarat mereka akan dikurangi dan disertai dengan suara. Hal ini terlihat pada semua deaf yang pernah aku temui. Saat pertama bertemu dan aku lebih menggunakan oral saat berbincang dengannya, maka deaf itu berbahasa isyarat dengan pelan disertai suara. Mungkin karena dia pikir orang yang diajak berbincang belum bisa bahasa isyarat dan khawatir apabila tak mengerti apa yang ingin disampaikan. Setelah berbincang lama, dia pasti akan menilai sejauh mana kemampuan bahasa isyarat orang dengar tersebut. Menurut pengalamanku selama ini, kira-kira mereka butuh waktu 5-10 menit untuk menilai kemampuan dan menyesuaikan kecepatan bahasa isyaratnya. Contohnya saat aku berada di Sukoharjo dan pertama kali berkenalan dengan deaf, maka deaf itu dipastikan akan menggunakan oral dan sedikit isyarat saat mengobrol. Setelah si pendengar ini mampu menanggapi apa yang dia omongkan secara otomatis dia akan meningkatkan kecepatan isyaratnya. Dan jika kita paham dan menanggapi apa yang dia bicarakan, dipastikan dia akan meningkatkan kecepatan behasa isyaratnya juga disertai dengan “struktur bahasa isyarat” yang sesungguhnya. Struktur bahasa isyarat yang aku maksudkan adalah pola isyarat yang sebenarnya dan bukan menurut kaidah SPOK.

Orang yang berbahasa isyarat juga seperti memperagakan dua karakter yang berbeda dalam satu cerita. Contohnya ada deaf yang cerita akan membeli HP, maka dia benar-benar memperagakan apa yang diomongkannya saat itu dan memperagakan apa yang diomongkan oleh pedagang HP itu. Dan disertai oleh ekspresinya. Jadi seakan-akan kita melihat dua orang yang bercerita, padahal hanya satu orang itu. Hal ini tidak dilakukan saat kita berbicara. Ini merupakan keunikan bahasa isyarat.

Pertama kali menjadi interpret adalah suatu hal yang tak terlupakan. Karena malam setelah acara kepala menjadi sangat panas dan terasa pusing. Aku menyebutnya Interpret Syndrome. Saat tidur kadang tanpa sadar tangan melakukan gerakan-gerakan isyarat. Benar-benar terbawa sampai mimpi. Bahasa isyarat membutuhkan koordinasi otak dan motorik untuk mensinkronkannya menjadi gerakan-gerakan bahasa isyarat.

Dan satu lagi, kadang sebelum menginterpretkan aku butuh pemanasan. Karena di beberapa kali saat-saat pertama memulai interpret kadang-kadang bahasa isyarat yang ada di otak tidak sinkron dengan apa yang aku hasilkan dalam bentuk gerakan isyarat. Perasaan gugup juga mempengaruhi interpret. Seperti dulu yang mas Ponk bilang ke aku “Tenangno sek, ra sah gugup, tarik napas dalam-dalam”. Jadi kesimpulan dari semua ini adalah otak dan motorik harus sinkron, perasaan tenang, banyaknya penguasaan kata-kata isyarat serta intensitas kita bertemu dengan deaf akan sangat mempengaruhi kemampuan bahasa isyarat.

Senang bisa menjadi bagian dari teman-teman deaf, dan semoga teman-teman deaf juga merasakan hal yang sama. Dengan banyaknya  orang pendengar yang bisa berbahasa isyarat akan menumbuhkan semangat mereka untuk maju dan bahasa isyarat akan lebih membudaya di masyarakat.