Bahasa
isyarat…. Dulunya tak pernah terpikirkan akan bisa bahasa isyarat dan
memakainya hampir tiap hari. Dulu pernah belajar bahasa isyarat pada tahun 2009
di UNY. Waktu itu ada workshop bahasa isyarat yang diselenggarakan oleh HIMA
(Himpunan Mahasiswa) PLB FIP UNY selama 2 hari. Sehari adalah amteri dan hari
berikutnya adalah praktik bahasa isyarat. Ya seru bisa bahasa isyarat waktu
itu, karena merasakan hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan.
Setelah
pelatihan itu, bahasa isyarat tak pernah lagi dipakai. Seperti ilmu-ilmu yang
lain apabila tak pernah digunakan pasti akan hilang, ya seperti bahasa isyarat
itu. Waktu itu aku benar-benar sudah tak hafal lagi bahasa isyarat, bahkan abjad!! Ya eman-eman banget.. Nah pada tahun 2011
kalau tidak salah bulan juni akhir aku bertemu mas Jayeng (mantan ketua
Gerkatin Solo) dan Agus (Pengurus Gerkatin Solo) di kampus untuk mengajak ke
acara Gerkatin Solo, katanya acara sosialisasi bahasa isyarat.
Terakhir
belajar bahasa isyarat tahun 2009 dan ketemu mas Jayeng tahun 2011. Hmmmm bisa
dibayangkan aku belepotan dan gemeteran ngobrol-ngobrol dengan dia. Aku tak begitu maksud apa yang dia omongkan dan
juga sebaliknya. Yang ada di benakku “iiish memalukan bener nih aku anak PLB ga
bisa komunikasi sama mereka”. Apalagi waktu itu mas Jayeng tanya nama-nama
beberapa temanku untuk diajak ke acaranya. Ngomong
“Puji” berubah menjadi “Budi” di kertas mas Jayeng. hadeeeeh -____-“
Selama
tahun pertengahan 2011 hingga sekarang sudah mengalami beberapa pengalaman
berbahasa isyarat. Memang bahasa isyarat berbeda dengan bahasa kita waktu
ngobrol dengan berbicara. Adakalanya dimana letak “Subjek” ditempatkan di “Predikat”
dalam struktur SPOK Bahasa Indonesia. Namun dalam bahasa isyarat hal itu adalah
wajar dan membuat deaf mengerti. “Setelah acara ini selesai kita pergi ke
Gerkatin” à ini adalah pemakaian bahasa kita saat bicara. Namun dalam
bahasa isyarat akan menjadi seperti ini “Acara ini habis, kita (pergi)
Gerkatin”. Kata “pergi” masuk dalam kurung karena perbedaan yang masing-masing
deaf lakukan saat ngobrol.
Bahasa
isyarat menggunakan ekspresi untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat
sesuatu. “Cewek itu cantik bangeeeet” à berbicara dengan orang pendengar,
namun jika dengan isyarat akan menjadi “Cewek itu cantik”. Ya memang terlihat
biasa jika ditulis, tapi akan terlihat berbeda jika kita bertemu langsung
dengan deaf saat ngobrol. Karena ekspresi “bangeeeet” akan ditampilkan dengan
mimik muka yang menunjukkan bahwa cewek itu sangat cantik. Apabila deaf
bercerita sedih, maka ekspresi mereka pun akan ikut sedih. Naaah ekspresi
adalah hal yang masih sulit aku lakukan, emang dasarnya tak punya ekspresi kali
ya -___-“. Masih dalam proses pembiasaan ekspresi saat berbahasa isyarat.
Selain
ekspresi, kecepatan deaf berisyarat juga ditentukan oleh dengan siapa mereka
berbicara. Apabila mereka berbicara dengan orang dengar yang sudah bisa
berisyarat maka mereka cenderung akan lebih cepat pergerakan tangannya. Tapi
apabila dengan orang pendengar yang belum bisa atau yang sedang belajar bahasa
isyarat maka kecepatan bahasa isyarat mereka akan dikurangi dan disertai dengan
suara. Hal ini terlihat pada semua deaf yang pernah aku temui. Saat pertama
bertemu dan aku lebih menggunakan oral saat berbincang dengannya, maka deaf itu
berbahasa isyarat dengan pelan disertai suara. Mungkin karena dia pikir orang
yang diajak berbincang belum bisa bahasa isyarat dan khawatir apabila tak
mengerti apa yang ingin disampaikan. Setelah berbincang lama, dia pasti akan
menilai sejauh mana kemampuan bahasa isyarat orang dengar tersebut. Menurut
pengalamanku selama ini, kira-kira mereka butuh waktu 5-10 menit untuk menilai
kemampuan dan menyesuaikan kecepatan bahasa isyaratnya. Contohnya saat aku
berada di Sukoharjo dan pertama kali berkenalan dengan deaf, maka deaf itu
dipastikan akan menggunakan oral dan sedikit isyarat saat mengobrol. Setelah si
pendengar ini mampu menanggapi apa yang dia omongkan secara otomatis dia akan
meningkatkan kecepatan isyaratnya. Dan jika kita paham dan menanggapi apa yang
dia bicarakan, dipastikan dia akan meningkatkan kecepatan behasa isyaratnya
juga disertai dengan “struktur bahasa isyarat” yang sesungguhnya. Struktur
bahasa isyarat yang aku maksudkan adalah pola isyarat yang sebenarnya dan bukan
menurut kaidah SPOK.
Orang
yang berbahasa isyarat juga seperti memperagakan dua karakter yang berbeda
dalam satu cerita. Contohnya ada deaf yang cerita akan membeli HP, maka dia
benar-benar memperagakan apa yang diomongkannya saat itu dan memperagakan apa
yang diomongkan oleh pedagang HP itu. Dan disertai oleh ekspresinya. Jadi
seakan-akan kita melihat dua orang yang bercerita, padahal hanya satu orang
itu. Hal ini tidak dilakukan saat kita berbicara. Ini merupakan keunikan bahasa
isyarat.
Pertama
kali menjadi interpret adalah suatu hal yang tak terlupakan. Karena malam
setelah acara kepala menjadi sangat panas dan terasa pusing. Aku menyebutnya
Interpret Syndrome. Saat tidur kadang tanpa sadar tangan melakukan
gerakan-gerakan isyarat. Benar-benar terbawa sampai mimpi. Bahasa isyarat
membutuhkan koordinasi otak dan motorik untuk mensinkronkannya menjadi
gerakan-gerakan bahasa isyarat.
Dan
satu lagi, kadang sebelum menginterpretkan aku butuh pemanasan. Karena di
beberapa kali saat-saat pertama memulai interpret kadang-kadang bahasa isyarat
yang ada di otak tidak sinkron dengan apa yang aku hasilkan dalam bentuk
gerakan isyarat. Perasaan gugup juga mempengaruhi interpret. Seperti dulu yang
mas Ponk bilang ke aku “Tenangno sek, ra sah gugup, tarik napas dalam-dalam”.
Jadi kesimpulan dari semua ini adalah otak dan motorik harus sinkron, perasaan
tenang, banyaknya penguasaan kata-kata isyarat serta intensitas kita bertemu dengan
deaf akan sangat mempengaruhi kemampuan bahasa isyarat.
Senang
bisa menjadi bagian dari teman-teman deaf, dan semoga teman-teman deaf juga
merasakan hal yang sama. Dengan banyaknya
orang pendengar yang bisa berbahasa isyarat akan menumbuhkan semangat
mereka untuk maju dan bahasa isyarat akan lebih membudaya di masyarakat.