Thursday, December 12, 2013

Menjadi Besar Melalui Teater Tuli


Masih jelas teringat penampilan teater tuli bulan April 2013 yang lalu. Saat itu repons masyarakat yang sangat luar biasa ingin menyaksikan penampilan kawan-kawan tuli tampil dalam sebuah teater. Tiket presale yang disebar sebelum hari H, ternyata sudah habis terjual. Hanya tersisa tiket on the spot yang jumlahnya terbatas.

Yang tidak bisa masuk karena kehabisan tiket selalu menanyakan kapan teater tuli akan dipentaskan lagi. Kami selalu bilang bahwa kami belum tahu kapan pastinya. Momen yang sangat luar biasa tentunya jika kami dapat menyuguhkan teater yang sama besarnya seperti ini. Menggelar teater yang terdiri dari bermacam-macam organisasi tentunya tidak mudah. Menyatukan jadwal adalah hal yang paling berat. Tentunya setiap organisasi memiliki program kerja masing-masing.

Namun, itu semua tak mustahil dilakukan asal ada komitmen untuk merealisasikannya. Dan di Solo baru pertama kali diadakan teater tuli yang berkolaborasi dengan berbagai macam organisasi. Adalah Deaf Volunteering Organization (DVO) sebagai penggagas dan tuan rumah acara teater ini. Berkolaborasi dengan Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret) dan Kelompok Teater Peron Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNS. Antusiasme yang sangat luar biasa, baik dari orang tua, pendidikan, organisasi seni, maupun dari masyarakat umum mengenai teater yang kami pentaskan.

Cerita teater yang kami angkat adalah mengenai kehidupan nyata anak-anak tuli dan keluarga yang memiliki anak tuli. Anak-anak tuli yang tidak diperbolehkan keluar rumah karena merupakan aib keluarga yang harus ditutupi, tuli tidak bisa melakukan apa-apa sehingga percuma jika bersekolah atau sekedar bersosialisasi dengan tetangga. Hal tersebut masih sering dijumpai di desa-desa bahkan di perkotaan. Dengan pementasan teater ini, kami sekaligus mengedukasi kepada orang tua dan kepada pendidik bahwa tuli tidaklah yang seperti dibayangkan. Tuli dapat melakukan semuanya, kecuali mendengar. Bahasa isyarat tidak membodohkan tuli, justru pengetahuan luas jika informasi disajikan dalam bentuk bahasa isyarat.

Pahamilah bahwa bahasa isyarat adalah hak orang tuli. Hak yang sudah dijamin oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa semua orang/negara harus menghormati dan mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa yang setara dengan bahasa nasional negaranya. Tapi melihat realita yang ada, justru guru melarang siswa tuli menggunakan bahasa isyarat. Padahal bahasa isyarat adalah bahasa ibu orang-orang tuli. Bisa diibaratkan kita merampas tongkat orang buta yang berjalan sendirian. Menyakitkan bukan?

Bahasa isyarat sangat penting bagi tuli. Terutama untuk mendapatkan informasi. Betapa susahnya membaca gerakan bibir untuk menebak apa yang dikatakan seseorang. Apalagi jika berada dalam acara seminar yang pembicaranya berada jauh dari penonton. Dipastikan tak akan bisa membaca gerak bibirnya. Microphone yang menutupi mulutnya saat berbicara, dan tuli tak bisa membaca gerakan bibirnya. Maka dari itu butuh bahasa isyarat yang menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh sang pembicara. Dengan begitu, semua informasi akan terserap dengan baik.

Anak-anak tuli memiliki rasa percaya diri yang rendah saat menggunakan bahasa isyarat, karena sejak awal di otaknya sudah tertanam bahwa bahasa isyarat itu “buruk”. Jadi mereka banyak yang merasa dilema, antara nyaman dan malu. Mereka nyaman menggunakan bahasa isyarat tapi malu bila dilihat orang saat berbahasa isyarat. Atau bukan karena malu, tapi takut jika ketahuan oleh guru saat berisyarat, akan dihukum. Begitu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan nyata yang tak dimengerti oleh orang berpendengaran normal. Bahkan sebagian pendidik yang belum tahu atau tidak mau tahu kebutuhan anak-anak tuli.

Advokasi yang telah dilakukan oleh kawan-kawan tuli seakan hanya angin lalu. Tak ada bekasnya. Maka dari itu, kami mencari cara lain untuk mengadvokasi pada pemerintah, orang tua, masyarakat, dan untuk tulinya sendiri. Ya, dengan seni. Seni dapat menghubungkan dan menyampaikan pesan dengan baik. Dan dengan seni, kita dapat menyampaikan pesan dengan sangat jelas sekaligus menggambarkan realita yang sebenarnya dibandingkan memakai proposal atau bentuk-bentuk tulisan yang lain.

Bulan November yang lalu, Gerkatin Solo diundang untuk tampil dalam acara Festival Teater Pelajar se-Jawa Tengah. Suatu hal yang sangat luar biasa. Karena Gerkatin Solo baru pentas teater pertama kali bulan April yang lalu tapi sudah mendapat kehormatan menjadi bintang tamu dalam acara besar ini. Ternyata pentas bulan April yang lalu menyedot perhatian dari berbagai pihak.

Saya yang sekarang berdomisili di Bekasi, menyempatkan menonton pentas Gerkatin Solo. Ada rasa yang sangat aku rindukan, yaitu teman-teman tuli Solo yang penuh semangat dan keceriaan. Sungguh rasa rindu yang sudah tertahan lama, terobati sudah. Melihat mereka latihan, membuat properti, ah aku merindukan semuanya! Di Solo saya tak hanya bertemu teman-teman tuli, tapi dengan kawan-kawan volunteer. Ya, kawan-kawan DVO yang punya semangat juang tinggi.

Kepanitiaan teater kali ini adalah sepenuhnya tuli yang menjadi ujung tombaknya. Dalam mencari dana sponsor, pembuatan proposal, bahkan dalam hal pemain semuanya adalah teman-teman tuli. Jadi peran volunteer hanya sebagai jembatan penghubung serta membantu hal-hal yang dirasa belum mereka pahami. Hal ini sudah terbiasa kami lakukan, sehingga teman-teman tuli dapat belajar bagaimana proses membuat acara. Bagaimana rasanya saat suatu acara itu sukses terselenggara dengan kerja keras mereka sendiri. Pasti ada suatu kebanggaan tersendiri memiliki kesempatan membuat suatu acara, banyak pengalaman yang didapat, memahami akan adanya perbedaan pendapat dan berbagai karakter personal di dalam kerja tim tersebut.

Pementasan di Festival Pelajar November lalu, Gerkatin Solo menampilkan teater “tanpa dialog”. Menggunakan bahasa isyarat sepanjang pementasan. Apakah tak ada yang mengerti maksudnya? Tidak. Bahkan penonton begitu antusias menyaksikan pementasan tersebut. Karena rasa penasaran ingin tahu bagaimana pementasan tuli. Teman-teman tuli tak berdialog menggunakan suara, mereka berdialog dengan sesama pemain maupun penonton menggunakan bahasa isyarat.

Teman-teman tuli memiliki ekspresi wajah yang alami, sehingga pesan yang ingin disampaikan benar-benar sampai kepada penonton. Ada gelak tawa sepanjang pementasan teater ini. Penonton melihat gerakan dan ekspresi wajah pemain yang menampilkan sisi parodi. Tiap segmen riuh tepuk tangan penonton sangat meriah, bahkan lebih meriah dari peserta yang tampil sebelum-sebelumnya.

Saya yang menyaksikan pun begitu terhibur melihat penampilan teman-teman tuli. Tiap pergantian segmen, lampu panggung dimatikan, sehingga rasa penasaran ingin segera melihat penampilan mereka yang lain. Dan tiap segmen pasti membuat kejutan-kejutan yang menghibur penonton. Pantas jika penampilan mereka sangat dinantikan.

Teater yang berjudul “Dongempi” disutradarai oleh Sandhi. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS yang mencintai bidang seni, teater khususnya. Dan sekali lagi, pementasan Gerkatin Solo berhasil mendatangkan teman-teman tuli dari daerah lain yang jauh-jauh datang untuk menyaksikan pementasan ini. Ada dari Jogja, Salatiga, Semarang, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Mereka merasa rindu ingin melihat teman-teman tuli pentas teater. Seperti yang kita tahu, kesempatan untuk tuli tampil sangatlah sedikit, tak banyak media yang menampilkan sisi “lain” dari tuli. Media lebih banyak melihat sisi dimana disabilitas adalah orang yang harus dikasihani, membutuhkan pertolongan, dan berbagai image “negatif” lainnya.

Dengan pertunjukan teater ini, kami yakin bahwa ini adalah cara yang ampuh untuk mengedukasi masyarakat mengenai tuli serta meluruskan pandangan masyarakat mengenai tuli. Dan yang terpenting pemerintah dapat memahami kebutuhan tuli dalam bidang informasi dan pendidikan. Jangan lagi mendiskriminasi bahasa isyarat, ini bahasa ibu tuli. Bahasa yang seharusnya dapat berkembang setara dengan bahasa Indonesia. Berilah tuli kesempatan untuk menentukan kebijakan, karena kamilah yang mengetahui kebutuhan kami yang sebenarnya. Bukan orang-orang berpendengaran normal yang merasa paling tahu mengenai tuli, tapi tidak pernah berinteraksi lebih jauh dengan tuli.

Tak ada yang berbeda dari tuli, semua hal dapat mereka lakukan, kecuali mendengar. Mereka dapat mendengar, bukan telinga, tapi dengan mata.

Aku bisa
Kamu Bisa
Kita Sama

Mengumpulkan Semangat
(foto: @ian_trihananto)

Adegan teater
(foto: @ian_trihananto)

Adegan Teater

Adegan Teater

Sunday, December 8, 2013

Lihat dan Rasakan Sensasi Teater Tuli

Tak pernah terpikir bahwa aku akan bermain teater, bahkan punya niatan bermain teater saja tidak pernah terlintas. Karena aku tahu diri tak ada bakat dalam bermain dalam dunia seni peran. Namun semuanya berbalik, tepatnya tanggal 4 April 2013. Itu adalah tanggal pentas yang akan menampilkan teman-teman tuli dan berkolaborasi dengan beberapa organisasi.
                
For your information, ini adalah kali pertama teman-teman tuli pentas kolaborasi dengan orang dengar. Jadi kita tak bisa membayangkan “kejutan” apa yang akan terjadi saat pentas. Dari sisi kepanitiaan, yang menjadi koordinator adalah tuli, kita yang orang dengar bertugas menyokong dari belakang. Ketua panitia pelaksana dan ketua masing-masing bagian adalah tuli. Teman-teman dengar bertugas untuk memberikan mereka “pengalaman langsung” dalam segi kepanitiaan.

Setelah beberapa kali rapat, aku melihat kinerja mereka sangat bagus. Mereka bekerja sesuai dengan tugasnya. Yang paling berkesan adalah dalam bidang sponsorship. Kebetulan aku masuk dalam bagian sponsorship dan bertugas mencari sponsor dari perusahaan-perusahaan. Pertama, aku yang maju untuk memberikan contoh pada teman tuli bagaimana alur memasukkan proposal ke sebuah perusahaan. Dan perusahaan pertama selesai. Kemudian kami berpindah ke perusahaan kedua, ini giliran teman tuli yang maju. Tak ada rasa canggung atau malu pada dirinya. Ah keren amat sih dia, pikirku.

Hari berikutnya kita berbagi tugas untuk berkeliling ke perusahaan-perusahaan lain. Teman-teman tuli melakukan tugasnya dengan sangat baik. Hasil dari sponsorship ini memang penting untuk pentas teater ini, tapi yang lebih penting dari hal ini adalah dapat mengasah kepercayaan diri dan dapat berproses belajar bagaimana kerja sama dalam sebuah tim baik dengan sesama tuli maupun orang dengar.
      
Persiapan teater ini cukup lama, sekitar 4 bulan. Sangat melelahkan bagiku, setiap pagi aku bekerja, sore bekerja, dan malamnya latihan teater hingga larut. Tapi yang lebih mengherankan lagi, justru teman-teman tuli latihannya sangat bersemangat, mereka pasti punya kesibukan masing-masing. Tapi hampir tak nampak wajah lelah mereka saat latihan persiapan teater ini. Dua jempol untuk mereka!!

Pentas teater ini diiniasi oleh Deaf Volunteering Organization (DVO), yang bekerjasama dengan Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret), dan Teater Peron FKIP UNS. Pada mulanya aku dan beberapa teman hanya sekedar nongkrong di sebuah angkringan (semacam warung kaki lima) ngobrol-ngobrol tentang rencana kita untuk membuat suatu acara. Faiz dan Budi, mereka adalah kawanku yang merupakan anggota BKKT UNS, serta Epik, anggota Teater Peron FKIP UNS, membicarakan bagaimana caranya berkontribusi untuk mengenalkan difabel ke masyarakat supaya tidak selalu dipandang negatif. Berbagai ide muncul, mulai dari perkusi disertai aksi teatrikal, keliling ke sekolah-sekolah untuk mengumpulkan dana, dan ide-ide lainnya.

Kemudian terbersit ide yang cuma nyeplos, bagaimana kalau kita buat sebuah pentas teater tuli yang menggabungkan BKKT dan Peron?, kataku. Yaaah mereka semua sutuju, tapi belum jadi obrolan yang serius. Dan pada akhirnya kami menghubungi masing-masing organisasi untuk membicarakan acara kami ini. Dari DVO dan Gerkatin Solo setuju, BKKT setuju, serta Peron UNS setuju, acara berjalan. Selanjutnya kami melakukan rapat perdana yang bertujuan untuk mengumpulkan semua anggota yang akan terlibat dalam pentas teater ini. Rapat perdana usai, artinya perjuangan panjang kami segera dimulai

Tantangan yang besar terjadi di tengah-tengah proses persiapan teater ini. Terjadi beberapa perubahan rencana pentas, yang awalnya bulan Februari, mundur bulan Maret, dan hingga akhirnya fix tanggal 4 April 2013. Banyaknya pemain yang belum siap menjadi kendala, dan juga karena April adalah bulan dimana Ujian Nasional diselenggarakan, maka kawan kami yang bersekolah di SMP dan SMA tingkat akhir mengundurkan diri dari proses teater ini. Ditambah lagi ada beberapa kawan kami dari BKKT yang menjadi pemeran dalam teater ini harus mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama 4 bulan di Jogja. Sehingga dari sutradara memutuskan untuk merotasi pemain, mengubah naskah,  dan mengubah beberapa adegan dalam teater ini. Salut untuk pak sutradara :D

Aku juga minta maaf untuk sutradara, sekaligus berterimakasih atas kesabarannya melatihku dalam berakting menjadi Pak Lurah. Berkali-kali ditegur kurang ekspresi, kurang menghayati, kurang latihan, tidak hafal-hafal naskah, dan lain sebagainya, mohon maaf deh ya. Ini pertama kalinya bermain teater. Latihan selama 4 bulan ini kita berlatih seminggu 3 kali. Tempat latihan menjadi kendala para pemain. Karena rumah yang berseberangan, sehingga mencari tempat latihan yang berada tepat di tengah-tengah kota sangat sulit. Ada beberapa pilihan yaitu di SLB Negeri Surakarta, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Di SLB Negeri Surakarta bisa dipakai, tapi kita tak boleh berteriak-teriak karena mengganggu tetangga (kita pernah diprotes), jika di UNS banyak tempat latihan, tapi akan kejauhan bagi kawan-kawan yang berada di bagian barat Solo. Sedangkan di UMS ada tempat, tapi bagi yang bertempat di Solo bagian timur merasa kejauhan. Akhirnya dalam rapat lanjutan kami mengambil voting untuk tempat latihan, dan dengan selisih voting tipis, terpilihlah UMS sebagai tempat latihan kami. Latihan dimulai jam 7 hingga jam 10 malam. Yap semangat kawan-kawan deaf tetap menggebu.

H-7 Pentas

Membuat suatu kegiatan yang panitianya merupakan kolaborasi dari berbagai organisasi cukup membuat kesulitan untuk menyatukan waktu latihan. Disamping BKKT dan Peron yang sangat sibuk dengan berbagai acaranya, mereka harus latihan juga dengan kami dalam teater ini. Bahkan kami baru sekali latihan bersama antara DVO, Gerkatin, Peron, dan BKKT UNS. Namun, semua itu tak menyurutkan langkah kami yang sudah semakin dekat. Latihan bersama sangat sulit, karena menyatukan antara adegan teater, gerakan hiphop, dan tarian dari teman-teman tuli.

Kesulitan yang dihadapi oleh BKKT UNS adalah, mereka baru pertama kali ini mengadakan pentas dengan tuli. Karena biasanya mereka dengan mudah bilang kepada pemerannya untuk mengikuti suara musik, tapi berkolaborasi dengan tuli itu menjadi hal yang berkebalikan bahwa BKKT yang harus mengikuti gerakan tuli. mereka bilang ini pengalaman yang sangat “wow”.

Pada H-7, kami sudah memiliki gambaran seperti apa kelak penampilan teater kami. Ada tarian dari teman-teman tuli, ada hiphop, puisi dengan bahasa isyarat, adegan teater, dan tarian-tarian teatrikal yang mengandung unsur cerita dalam rangkaian teater. Hal yang sangat membuat haru dan bangga, bukan hanya bagi DVO, tapi bagi Gerkatin, orang tua, dan masyarakat awam pada umumnya.
Hari Pentas

Tiket yang sudah disebar sebelum hari pentas ternyata sudah hampir habis, hal ini sempat membuat kaget seluruh panitia. Kaget karena senang dengan antusias masyarakat yang sangat besar untuk menonton pentas ini, dan kaget karena khawatir jika penonton yang membeli tiket on the spot tak bisa terlayani. Tiket yang sudah disebar sejumlah 400-an lembar, namun hanya tersisa beberapa lembar. Untung saja kami sudah menyiapkan tiket cadangan. Rapat persiapan akhir untuk memastikan semua dalam keadaan prima, baik dari penjaga pintu, lighting, dan antisipasi jika penonton membludak.

Pada hari pentas ini kami sangat berterimakasih kepada Teater Tulang, yang telah membantu kami dalam segala hal. Baik dalam koordinasi pemain, koordinasi teknis acara, dan yang paling penting Teater Tulang sangat membantu dalam dekorasi panggung. Dekorasi panggung yang sangat bagus disuguhkan oleh Teater Tulang. Bahkan Teater Tulang membantu dalam make up artis, dan mengerahkan seluruh pasukannya untuk membantu pentas kami ini. Sungguh kekuatan yang luar biasa dan tak terduga yang mendukung pentas kami ini.

Pukul 18.00 semua pemain sudah siap. Dan kami sangat gugup menanti pintu teater dibuka. Seperti biasa, sebelum pentas digelar semua pemain dan kru berkumpul melingkar di tengah panggung untuk berdoa. Kata-kata penyemangat dari sutradara dan kru yang lain untuk kami sangat membuat semangat menggebu. “Panggung ini milik kalian, malam ini kalian ditonton banyak pasang mata yang penuh rasa penasaran akan pertunjukan ini. It’s your day!!”

Tepat pukul 19.00 pintu Teater Besar Taman Budaya Jawa Tengah dibuka. Suara riuh penonton terdengar hingga balik panggung. Oh jantung rasanya berdetak 100 kali ritme normal. Rasanya lebih gugup dari ujian skripsi. Pertama kali jadi pemain teater dan langsung menjadi pemeran utama, Tuhan beri hamba kekuatan, bisikku dalam hati. Lima belas menit kemudian aku mengintip suasana Teater Arena dari belakang panggung. Woooooww penonton penuh! Jantung semakin berdetak kencang membayangkan aku akan berada di tengah panggung itu dalam beberapa menit kemudian. Kakiku ikut bergetar dan tiba-tiba Epik menarikku ke belakang panggung menjauhkanku dari hiruk pikuk penonton. “Jangan lihat ke sana, biarkan para penonton menjadi kejutan buatmu”, katanya. Jadikan aura penonton menjadi semangatmu di panggung nanti, tambah Epik.

Mulai masuk acara pada pukul 19.30. Dibuka oleh pembawa acara Mega Safira, Kepala Sekolah Akademi Berbagi Solo. Sambutan pertama oleh ketua panitia, Ryan. Mungkin banyak penonton yang heran karena sambutannya dibawakan dengan menggerak-gerakkan tangan semacam sandi rahasia dalam pramuka. Ryan adalah seorang tuli, jadi dia memberi sambutan dengan memakai bahasa isyarat. Dibantu oleh seorang interpreter yang menerjemahkan apa yang Ryan katakan kepada penonton. Ketua panitia sangat berterimakasih kepada penonton yang sudah memenuhi Teater Arena, pihak-pihak yang mendukung acara ini, dan kepada pemain serta sutradara yang telah berlatih dengan keras. Sambutan ketua panitia memukau para penonton karena seorang tuli dengan percaya diri bercerita dengan bahasa isyarat di depan panggung, karena selama ini mereka melihat tuli jika di acara-acara TV selalu oral dan tanpa menggunakan bahasa isyarat.

Kemudian sambutan kedua oleh ketua Gerkatin Solo, Muhammad. Hal ini juga dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat. Dengan kemampuan Muhammad bercerita tentang hak-hak tuli di Indonesia, advokasi yang telah Gerkatin Solo lakukan kepada pemerintah, hingga ceritanya mengenai kehidupan tuli di Inggris. Ya dia beberapa waktu lalu diundang ke Inggris untuk tinggal selama 1,5 bulan mempelajari organisasi tuli dan aktivitas tuli di sana. Sekali lagi, sambutan dari Muhammad telah menyadarkan masyarakat bahwa ada banyak hak-hak tuli di Indonesia yang belum terpenuhi.

Sambutan terakhir adalah dari DVO, yaitu oleh Christian. Dia bercerita mengenai awal mula DVO terbentuk serta jumlah anggota yang sangat terbatas. Di sini ditekankan bahwa untuk menjadi anggota DVO tidak harus fasih berbahasa isyarat, namun semua orang yang punya visi untuk berjuang bersama tuli itulah yang kami perlukan.  Bahkan orang-orang yang membantu kami di acara teater ini merupakan volunteer. Mereka tidak bisa bahasa isyarat, namun mereka tergerak hatinya untuk bersama-sama mensukseskan acara ini. Memang kuantitas itu berpengaruh, tapi mencari orang-orang yang berkualitas itu yang sangat kami perlukan.

Tepat pukul 20.00 pagelaran teater dimulai. Inilah saat-saat yang sangat mendebarkan untukku. Pertunjukan pertama diawali dengan aksi teatrikal oleh teman2 tuli. yang isinya adalah menggambarkan janin di dalam perut sang ibu yang kelak lahir anak tuli. Saat aksi teatrikal ini berlangsung, adegan berikutnya adalah aku, dan aku muncul dari depan yaitu dari bangku penonton. Oh Tuhan, setelah masuk ke dalam Teater Arena aku melihat penonton sangat penuh, bahkan banyak yang duduk di tangga dan lesehan. Belum pernah melihat Teater Arena disesaki oleh penonton yang membludak seperti ini. Luar biasa!


Aksi teatrikal selesai dan tepuk tangan penonton sangat membahana, terlihat raut kekaguman di wajah mereka. Oh ya, karena penonton di sini ada banyak teman tuli, jadi cara tepuk tangan penonton mengikuti cara tepuk tangan teman-teman tuli, yaitu dengan menggerak-gerakkan kedua tangan di atas. Karena teman-teman tuli lebih visual, dengan melihat banyak tangan yang diangkat tersebut, semangat tuli menjadi lebih besar. Dan aku ada di deretan tangga yang penuh sesak penonton melihat dengan jelas bahwa penonton sangat penasaran dengan pagelaran teater kami ini.

Mungkin yang terlihat “aneh” dari teater ini adalah adanya dua orang di sini kanan dan kiri panggung yang disorot lampu, mereka berbahasa isyarat sepanjang acara. Ya, mereka adalah penerjemah bahasa isyarat yang menerjemahkan dialog-dialog teater kepada penonton tuli. Ini pertama kalinya penonton melihat cara menerjemahkan dan sekali lagi ini membuat teater kami berbeda. Giliranku untuk masuk adegan ke atas panggung. Di sini atmosfer ratusan pasang mata penonton tertuju ke arahku, deg, jantungku memompa darah jutaan kali lebih cepat. Tangan dan kaki begitu gemetar tak terkontrol. Saat berdialog, aku mensiasatinya dengan berjalan kaki supaya tidak terlihat kalau kakiku ini bergetar hebat.

Teater ini menceritakan sebuah keluarga Lurah yang memiliki anak tuli. Aku berperan sebagai Joko, seorang lurah, sifatku yang tak bisa menerima Laras, anak Joko yang tuli. Sehingga Joko mengurungnya di rumah selama sepuluh tahun karena malu kalau orang lain melihat bahwa anaknya adalah tuli. Namun Bu Lurah sangat sabar, dia selalu percaya bahwa anaknya adalah anak yang pintar, karena dikurung di rumah sehingga Laras tidak bisa berkembang. Berkali-kali gejolak keluarga antara Pak Lurah dengan Bu Lurah yang membuat Laras kabur dari rumah. Kemudian Laras ditemukan oleh sebuah keluarga tuli, yaitu ibu dan semua anak-anaknya tuli. Laras nyaman berada di keluarga tersebut dan tidak mau pulang bersama ayahnya. Ayah dan ibunya sedih membujuknya untuk pulang ke rumah. Akhirnya Laras bersedia pulang, tapi dia ingin mengajak teman-temannya itu pulang ke rumah bersamanya. Setelah Pak Lurah berpikir sejenak, dia mengizinkan teman-teman Laras pulang ke rumah, dan mengangkatnya sebagai anak serta akan menyekolahkan mereka semua.

Penampilan teater ditutup dengan puisi bahasa isyarat yang ditampilkan oleh seluruh pemain. Untuk kesekian kalinya riuh tepuk tangan dan lambaian tangan penonton tak henti-hentinya mereka berikan kepada kami. Tampak berbagai macam ekspresi di wajah para penonton. Banyak yang merasa terharu dengan cerita teater ini. Beberapa penonton sadar bahwa selama ini banyak yang mendiskriminasikan tuli dan tidak menghargai hak tuli yaitu bahasa isyarat. Teman-teman tuli yang menonton teater ini mengaku terharu karena mengingat perlakuan orang tua terhadap mereka, begitu juga dengan orang tua yang memiliki anak tuli merasa bersalah karena tidak memahami anaknya.

Pagelaran selesai dan kami mendapatkan banyak ucapan selamat dari para penonton serta sahabat kami. Mereka sangat puas dengan pertunjukan teater ini. Sungguh sangat mengharukan. Hari sudah semakin larut dan semua harus pulang beristirahat. Rasanya masih tak percaya bahwa hari ini aku bermain teater dan mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Keesokan harinya, kami membuka beberapa situs portal berita. Sungguh tidak kami sangka, bahwa teater kami masuk ke dalam berita di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Pencapaian yang sangat tidak kami duga bahwa pertunjukan teater kami telah menarik minat banyak orang yang ingin tahu lebih dalam mengenai pertunjukan ini. Selain TV, pertunjukan teater kami semalam masuk ke dalam portal berita nasional, semua portal berita lokal, dan surat kabar. Facebook dan twitter penuh dengan ucapan selamat dan kekaguman dari para penonton.


Usaha-usaha yang telah kami lakukan tersebut adalah untuk mengedukasi masyarakat bahwa kami merupakan bagian dari masyarakat. Jangan marginalkan kelompok tuli, kami punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Pertunjukan teater ini telah menyadarkan masyarakat, praktisi pendidikan pada khususnya, bahwa bahasa isyarat adalah hak tuli, jangan melarang bahasa isyarat. Terbukti dengan bahasa isyarat semua informasi teater dapat tersampaikan kepada teman-teman tuli. Aku harap, semangat kawan-kawan Gerkatin Solo dan DVO dapat menular ke daerah-daerah lain di Indonesia. Tuli jangan takut, tunjukkan potensimu kepada dunia. Aku bisa, kamu bisa, semua bisa.

Tulisan ini bisa dibaca di buku Karya Pelangi, kumpulan cerita dari sahabat, keluarga, volunteer untuk disabilitas serta dari masyarakat umum. Dengan membeli buku Karya Pelangi secara online, kamu turut menyumbang untuk pembangunan Perpustakaan Pelangi di Solo.