Thursday, December 12, 2013

Menjadi Besar Melalui Teater Tuli


Masih jelas teringat penampilan teater tuli bulan April 2013 yang lalu. Saat itu repons masyarakat yang sangat luar biasa ingin menyaksikan penampilan kawan-kawan tuli tampil dalam sebuah teater. Tiket presale yang disebar sebelum hari H, ternyata sudah habis terjual. Hanya tersisa tiket on the spot yang jumlahnya terbatas.

Yang tidak bisa masuk karena kehabisan tiket selalu menanyakan kapan teater tuli akan dipentaskan lagi. Kami selalu bilang bahwa kami belum tahu kapan pastinya. Momen yang sangat luar biasa tentunya jika kami dapat menyuguhkan teater yang sama besarnya seperti ini. Menggelar teater yang terdiri dari bermacam-macam organisasi tentunya tidak mudah. Menyatukan jadwal adalah hal yang paling berat. Tentunya setiap organisasi memiliki program kerja masing-masing.

Namun, itu semua tak mustahil dilakukan asal ada komitmen untuk merealisasikannya. Dan di Solo baru pertama kali diadakan teater tuli yang berkolaborasi dengan berbagai macam organisasi. Adalah Deaf Volunteering Organization (DVO) sebagai penggagas dan tuan rumah acara teater ini. Berkolaborasi dengan Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret) dan Kelompok Teater Peron Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNS. Antusiasme yang sangat luar biasa, baik dari orang tua, pendidikan, organisasi seni, maupun dari masyarakat umum mengenai teater yang kami pentaskan.

Cerita teater yang kami angkat adalah mengenai kehidupan nyata anak-anak tuli dan keluarga yang memiliki anak tuli. Anak-anak tuli yang tidak diperbolehkan keluar rumah karena merupakan aib keluarga yang harus ditutupi, tuli tidak bisa melakukan apa-apa sehingga percuma jika bersekolah atau sekedar bersosialisasi dengan tetangga. Hal tersebut masih sering dijumpai di desa-desa bahkan di perkotaan. Dengan pementasan teater ini, kami sekaligus mengedukasi kepada orang tua dan kepada pendidik bahwa tuli tidaklah yang seperti dibayangkan. Tuli dapat melakukan semuanya, kecuali mendengar. Bahasa isyarat tidak membodohkan tuli, justru pengetahuan luas jika informasi disajikan dalam bentuk bahasa isyarat.

Pahamilah bahwa bahasa isyarat adalah hak orang tuli. Hak yang sudah dijamin oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa semua orang/negara harus menghormati dan mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa yang setara dengan bahasa nasional negaranya. Tapi melihat realita yang ada, justru guru melarang siswa tuli menggunakan bahasa isyarat. Padahal bahasa isyarat adalah bahasa ibu orang-orang tuli. Bisa diibaratkan kita merampas tongkat orang buta yang berjalan sendirian. Menyakitkan bukan?

Bahasa isyarat sangat penting bagi tuli. Terutama untuk mendapatkan informasi. Betapa susahnya membaca gerakan bibir untuk menebak apa yang dikatakan seseorang. Apalagi jika berada dalam acara seminar yang pembicaranya berada jauh dari penonton. Dipastikan tak akan bisa membaca gerak bibirnya. Microphone yang menutupi mulutnya saat berbicara, dan tuli tak bisa membaca gerakan bibirnya. Maka dari itu butuh bahasa isyarat yang menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh sang pembicara. Dengan begitu, semua informasi akan terserap dengan baik.

Anak-anak tuli memiliki rasa percaya diri yang rendah saat menggunakan bahasa isyarat, karena sejak awal di otaknya sudah tertanam bahwa bahasa isyarat itu “buruk”. Jadi mereka banyak yang merasa dilema, antara nyaman dan malu. Mereka nyaman menggunakan bahasa isyarat tapi malu bila dilihat orang saat berbahasa isyarat. Atau bukan karena malu, tapi takut jika ketahuan oleh guru saat berisyarat, akan dihukum. Begitu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan nyata yang tak dimengerti oleh orang berpendengaran normal. Bahkan sebagian pendidik yang belum tahu atau tidak mau tahu kebutuhan anak-anak tuli.

Advokasi yang telah dilakukan oleh kawan-kawan tuli seakan hanya angin lalu. Tak ada bekasnya. Maka dari itu, kami mencari cara lain untuk mengadvokasi pada pemerintah, orang tua, masyarakat, dan untuk tulinya sendiri. Ya, dengan seni. Seni dapat menghubungkan dan menyampaikan pesan dengan baik. Dan dengan seni, kita dapat menyampaikan pesan dengan sangat jelas sekaligus menggambarkan realita yang sebenarnya dibandingkan memakai proposal atau bentuk-bentuk tulisan yang lain.

Bulan November yang lalu, Gerkatin Solo diundang untuk tampil dalam acara Festival Teater Pelajar se-Jawa Tengah. Suatu hal yang sangat luar biasa. Karena Gerkatin Solo baru pentas teater pertama kali bulan April yang lalu tapi sudah mendapat kehormatan menjadi bintang tamu dalam acara besar ini. Ternyata pentas bulan April yang lalu menyedot perhatian dari berbagai pihak.

Saya yang sekarang berdomisili di Bekasi, menyempatkan menonton pentas Gerkatin Solo. Ada rasa yang sangat aku rindukan, yaitu teman-teman tuli Solo yang penuh semangat dan keceriaan. Sungguh rasa rindu yang sudah tertahan lama, terobati sudah. Melihat mereka latihan, membuat properti, ah aku merindukan semuanya! Di Solo saya tak hanya bertemu teman-teman tuli, tapi dengan kawan-kawan volunteer. Ya, kawan-kawan DVO yang punya semangat juang tinggi.

Kepanitiaan teater kali ini adalah sepenuhnya tuli yang menjadi ujung tombaknya. Dalam mencari dana sponsor, pembuatan proposal, bahkan dalam hal pemain semuanya adalah teman-teman tuli. Jadi peran volunteer hanya sebagai jembatan penghubung serta membantu hal-hal yang dirasa belum mereka pahami. Hal ini sudah terbiasa kami lakukan, sehingga teman-teman tuli dapat belajar bagaimana proses membuat acara. Bagaimana rasanya saat suatu acara itu sukses terselenggara dengan kerja keras mereka sendiri. Pasti ada suatu kebanggaan tersendiri memiliki kesempatan membuat suatu acara, banyak pengalaman yang didapat, memahami akan adanya perbedaan pendapat dan berbagai karakter personal di dalam kerja tim tersebut.

Pementasan di Festival Pelajar November lalu, Gerkatin Solo menampilkan teater “tanpa dialog”. Menggunakan bahasa isyarat sepanjang pementasan. Apakah tak ada yang mengerti maksudnya? Tidak. Bahkan penonton begitu antusias menyaksikan pementasan tersebut. Karena rasa penasaran ingin tahu bagaimana pementasan tuli. Teman-teman tuli tak berdialog menggunakan suara, mereka berdialog dengan sesama pemain maupun penonton menggunakan bahasa isyarat.

Teman-teman tuli memiliki ekspresi wajah yang alami, sehingga pesan yang ingin disampaikan benar-benar sampai kepada penonton. Ada gelak tawa sepanjang pementasan teater ini. Penonton melihat gerakan dan ekspresi wajah pemain yang menampilkan sisi parodi. Tiap segmen riuh tepuk tangan penonton sangat meriah, bahkan lebih meriah dari peserta yang tampil sebelum-sebelumnya.

Saya yang menyaksikan pun begitu terhibur melihat penampilan teman-teman tuli. Tiap pergantian segmen, lampu panggung dimatikan, sehingga rasa penasaran ingin segera melihat penampilan mereka yang lain. Dan tiap segmen pasti membuat kejutan-kejutan yang menghibur penonton. Pantas jika penampilan mereka sangat dinantikan.

Teater yang berjudul “Dongempi” disutradarai oleh Sandhi. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS yang mencintai bidang seni, teater khususnya. Dan sekali lagi, pementasan Gerkatin Solo berhasil mendatangkan teman-teman tuli dari daerah lain yang jauh-jauh datang untuk menyaksikan pementasan ini. Ada dari Jogja, Salatiga, Semarang, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Mereka merasa rindu ingin melihat teman-teman tuli pentas teater. Seperti yang kita tahu, kesempatan untuk tuli tampil sangatlah sedikit, tak banyak media yang menampilkan sisi “lain” dari tuli. Media lebih banyak melihat sisi dimana disabilitas adalah orang yang harus dikasihani, membutuhkan pertolongan, dan berbagai image “negatif” lainnya.

Dengan pertunjukan teater ini, kami yakin bahwa ini adalah cara yang ampuh untuk mengedukasi masyarakat mengenai tuli serta meluruskan pandangan masyarakat mengenai tuli. Dan yang terpenting pemerintah dapat memahami kebutuhan tuli dalam bidang informasi dan pendidikan. Jangan lagi mendiskriminasi bahasa isyarat, ini bahasa ibu tuli. Bahasa yang seharusnya dapat berkembang setara dengan bahasa Indonesia. Berilah tuli kesempatan untuk menentukan kebijakan, karena kamilah yang mengetahui kebutuhan kami yang sebenarnya. Bukan orang-orang berpendengaran normal yang merasa paling tahu mengenai tuli, tapi tidak pernah berinteraksi lebih jauh dengan tuli.

Tak ada yang berbeda dari tuli, semua hal dapat mereka lakukan, kecuali mendengar. Mereka dapat mendengar, bukan telinga, tapi dengan mata.

Aku bisa
Kamu Bisa
Kita Sama

Mengumpulkan Semangat
(foto: @ian_trihananto)

Adegan teater
(foto: @ian_trihananto)

Adegan Teater

Adegan Teater

No comments:

Post a Comment