Masih
jelas teringat penampilan teater tuli bulan April 2013 yang lalu. Saat itu
repons masyarakat yang sangat luar biasa ingin menyaksikan penampilan
kawan-kawan tuli tampil dalam sebuah teater. Tiket presale yang disebar sebelum hari H, ternyata sudah habis terjual.
Hanya tersisa tiket on the spot yang
jumlahnya terbatas.
Yang
tidak bisa masuk karena kehabisan tiket selalu menanyakan kapan teater tuli
akan dipentaskan lagi. Kami selalu bilang bahwa kami belum tahu kapan pastinya.
Momen yang sangat luar biasa tentunya jika kami dapat menyuguhkan teater yang
sama besarnya seperti ini. Menggelar teater yang terdiri dari bermacam-macam
organisasi tentunya tidak mudah. Menyatukan jadwal adalah hal yang paling berat.
Tentunya setiap organisasi memiliki program kerja masing-masing.
Namun,
itu semua tak mustahil dilakukan asal ada komitmen untuk merealisasikannya. Dan
di Solo baru pertama kali diadakan teater tuli yang berkolaborasi dengan
berbagai macam organisasi. Adalah Deaf Volunteering Organization (DVO) sebagai
penggagas dan tuan rumah acara teater ini. Berkolaborasi dengan Gerkatin
(Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan
Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret) dan Kelompok Teater
Peron Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNS. Antusiasme yang sangat luar biasa,
baik dari orang tua, pendidikan, organisasi seni, maupun dari masyarakat umum
mengenai teater yang kami pentaskan.
Cerita
teater yang kami angkat adalah mengenai kehidupan nyata anak-anak tuli dan
keluarga yang memiliki anak tuli. Anak-anak tuli yang tidak diperbolehkan
keluar rumah karena merupakan aib keluarga yang harus ditutupi, tuli tidak bisa
melakukan apa-apa sehingga percuma jika bersekolah atau sekedar bersosialisasi
dengan tetangga. Hal tersebut masih sering dijumpai di desa-desa bahkan di
perkotaan. Dengan pementasan teater ini, kami sekaligus mengedukasi kepada
orang tua dan kepada pendidik bahwa tuli tidaklah yang seperti dibayangkan.
Tuli dapat melakukan semuanya, kecuali mendengar. Bahasa isyarat tidak
membodohkan tuli, justru pengetahuan luas jika informasi disajikan dalam bentuk
bahasa isyarat.
Pahamilah
bahwa bahasa isyarat adalah hak orang tuli. Hak yang sudah dijamin oleh PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa semua orang/negara harus menghormati dan
mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa yang setara dengan bahasa nasional
negaranya. Tapi melihat realita yang ada, justru guru melarang siswa tuli
menggunakan bahasa isyarat. Padahal bahasa isyarat adalah bahasa ibu
orang-orang tuli. Bisa diibaratkan kita merampas tongkat orang buta yang
berjalan sendirian. Menyakitkan bukan?
Bahasa
isyarat sangat penting bagi tuli. Terutama untuk mendapatkan informasi. Betapa
susahnya membaca gerakan bibir untuk menebak apa yang dikatakan seseorang.
Apalagi jika berada dalam acara seminar yang pembicaranya berada jauh dari
penonton. Dipastikan tak akan bisa membaca gerak bibirnya. Microphone yang
menutupi mulutnya saat berbicara, dan tuli tak bisa membaca gerakan bibirnya.
Maka dari itu butuh bahasa isyarat yang menginterpretasikan apa yang diucapkan
oleh sang pembicara. Dengan begitu, semua informasi akan terserap dengan baik.
Anak-anak
tuli memiliki rasa percaya diri yang rendah saat menggunakan bahasa isyarat,
karena sejak awal di otaknya sudah tertanam bahwa bahasa isyarat itu “buruk”.
Jadi mereka banyak yang merasa dilema, antara nyaman dan malu. Mereka nyaman
menggunakan bahasa isyarat tapi malu bila dilihat orang saat berbahasa isyarat.
Atau bukan karena malu, tapi takut jika ketahuan oleh guru saat berisyarat,
akan dihukum. Begitu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan nyata yang tak
dimengerti oleh orang berpendengaran normal. Bahkan sebagian pendidik yang
belum tahu atau tidak mau tahu kebutuhan anak-anak tuli.
Advokasi
yang telah dilakukan oleh kawan-kawan tuli seakan hanya angin lalu. Tak ada
bekasnya. Maka dari itu, kami mencari cara lain untuk mengadvokasi pada
pemerintah, orang tua, masyarakat, dan untuk tulinya sendiri. Ya, dengan seni.
Seni dapat menghubungkan dan menyampaikan pesan dengan baik. Dan dengan seni,
kita dapat menyampaikan pesan dengan sangat jelas sekaligus menggambarkan
realita yang sebenarnya dibandingkan memakai proposal atau bentuk-bentuk
tulisan yang lain.
Bulan
November yang lalu, Gerkatin Solo diundang untuk tampil dalam acara Festival
Teater Pelajar se-Jawa Tengah. Suatu hal yang sangat luar biasa. Karena
Gerkatin Solo baru pentas teater pertama kali bulan April yang lalu tapi sudah
mendapat kehormatan menjadi bintang tamu dalam acara besar ini. Ternyata pentas
bulan April yang lalu menyedot perhatian dari berbagai pihak.
Saya
yang sekarang berdomisili di Bekasi, menyempatkan menonton pentas Gerkatin
Solo. Ada rasa yang sangat aku rindukan, yaitu teman-teman tuli Solo yang penuh
semangat dan keceriaan. Sungguh rasa rindu yang sudah tertahan lama, terobati
sudah. Melihat mereka latihan, membuat properti, ah aku merindukan semuanya! Di
Solo saya tak hanya bertemu teman-teman tuli, tapi dengan kawan-kawan volunteer. Ya, kawan-kawan DVO yang
punya semangat juang tinggi.
Kepanitiaan
teater kali ini adalah sepenuhnya tuli yang menjadi ujung tombaknya. Dalam
mencari dana sponsor, pembuatan proposal, bahkan dalam hal pemain semuanya
adalah teman-teman tuli. Jadi peran volunteer
hanya sebagai jembatan penghubung serta membantu hal-hal yang dirasa belum
mereka pahami. Hal ini sudah terbiasa kami lakukan, sehingga teman-teman tuli
dapat belajar bagaimana proses membuat acara. Bagaimana rasanya saat suatu
acara itu sukses terselenggara dengan kerja keras mereka sendiri. Pasti ada
suatu kebanggaan tersendiri memiliki kesempatan membuat suatu acara, banyak
pengalaman yang didapat, memahami akan adanya perbedaan pendapat dan berbagai
karakter personal di dalam kerja tim tersebut.
Pementasan
di Festival Pelajar November lalu, Gerkatin Solo menampilkan teater “tanpa
dialog”. Menggunakan bahasa isyarat sepanjang pementasan. Apakah tak ada yang
mengerti maksudnya? Tidak. Bahkan penonton begitu antusias menyaksikan
pementasan tersebut. Karena rasa penasaran ingin tahu bagaimana pementasan
tuli. Teman-teman tuli tak berdialog menggunakan suara, mereka berdialog dengan
sesama pemain maupun penonton menggunakan bahasa isyarat.
Teman-teman
tuli memiliki ekspresi wajah yang alami, sehingga pesan yang ingin disampaikan
benar-benar sampai kepada penonton. Ada gelak tawa sepanjang pementasan teater
ini. Penonton melihat gerakan dan ekspresi wajah pemain yang menampilkan sisi
parodi. Tiap segmen riuh tepuk tangan penonton sangat meriah, bahkan lebih
meriah dari peserta yang tampil sebelum-sebelumnya.
Saya
yang menyaksikan pun begitu terhibur melihat penampilan teman-teman tuli. Tiap
pergantian segmen, lampu panggung dimatikan, sehingga rasa penasaran ingin
segera melihat penampilan mereka yang lain. Dan tiap segmen pasti membuat
kejutan-kejutan yang menghibur penonton. Pantas jika penampilan mereka sangat
dinantikan.
Teater
yang berjudul “Dongempi” disutradarai oleh Sandhi. Mahasiswa Pendidikan Luar
Biasa (PLB) UNS yang mencintai bidang seni, teater khususnya. Dan sekali lagi,
pementasan Gerkatin Solo berhasil mendatangkan teman-teman tuli dari daerah
lain yang jauh-jauh datang untuk menyaksikan pementasan ini. Ada dari Jogja,
Salatiga, Semarang, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Mereka merasa rindu
ingin melihat teman-teman tuli pentas teater. Seperti yang kita tahu,
kesempatan untuk tuli tampil sangatlah sedikit, tak banyak media yang
menampilkan sisi “lain” dari tuli. Media lebih banyak melihat sisi dimana
disabilitas adalah orang yang harus dikasihani, membutuhkan pertolongan, dan
berbagai image “negatif” lainnya.
Dengan
pertunjukan teater ini, kami yakin bahwa ini adalah cara yang ampuh untuk
mengedukasi masyarakat mengenai tuli serta meluruskan pandangan masyarakat
mengenai tuli. Dan yang terpenting pemerintah dapat memahami kebutuhan tuli
dalam bidang informasi dan pendidikan. Jangan lagi mendiskriminasi bahasa
isyarat, ini bahasa ibu tuli. Bahasa yang seharusnya dapat berkembang setara
dengan bahasa Indonesia. Berilah tuli kesempatan untuk menentukan kebijakan,
karena kamilah yang mengetahui kebutuhan kami yang sebenarnya. Bukan
orang-orang berpendengaran normal yang merasa paling tahu mengenai tuli, tapi
tidak pernah berinteraksi lebih jauh dengan tuli.
Tak
ada yang berbeda dari tuli, semua hal dapat mereka lakukan, kecuali mendengar. Mereka
dapat mendengar, bukan telinga, tapi dengan mata.
Aku bisa
Kamu Bisa
Kita Sama
Kamu Bisa
Kita Sama
No comments:
Post a Comment