Saturday, March 16, 2013

Menggapai Asa di Kota Apel



          Tahun ajaran baru, selalu menjadi tahun yang paling menyibukkan dan memusingkan bagi para calon mahasiswa. Pilih jurusan ini, universitas itu, kota yang jauh, dan berbagai pertimbangan lain. Bagi yang sudah mendapat restu dari orang tua pasti akan lebih mudah melangkah kemana akan meniti masa depannya. Kita pasti ingin mendapatkan pendidikan di universitas terbaik dengan tenaga pengajar yang terbaik pula.

          Beginilah yang dirasakan oleh sahabatku asal Jogja, Fikri. Dia adalah seorang deaf yang memiliki semangat tinggi untuk kuliah, terutama bidang seni rupa dan desain. Fikri tidak berbeda dengan calon mahasiswa lainnya, ingin mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun “terbaik” bagi Fikri dan bagi kita mungkin tidak sama. Fikri bisa saja berkuliah di universitas terbaik di negeri ini dan mengambil jurusan populer, tapi itu bukan yang “terbaik” dari sisinya.

          Beberapa bulan sebelum pembukaan pendaftaran tes masuk perguruan tinggi negeri, Fikri memberitahuku bahwa ada beasiswa khusus difabel dari Universitas Brawijaya (UB) Malang. Peluang yang sangat bagus, pikirku. Sebelum ini, dia sudah bertemu dengan dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja untuk berkonsultasi mengenai sistem perkuliahan dan proses pembelajarannya saat di kelas. Ternyata di universitas tersebut belum ada penerjemah bahasa isyarat untuk mendampingi Fikri di kelas. Pasti dia akan kesulitan dalam mengikuti perkuliahan manakala harus membaca gerak bibir dosen sepanjang perkuliahan. Inilah yang dinamakan bukan yang “terbaik” bagi seorang Fikri, biarpun universitas negeri dan fasilitas memadai.

          Baiklah, mungkin univeritas negeri Jogja tersebut menjadi pilihan terakhir jika di UB tidak lolos. Dua minggu menjelang keberangkatan aku mengunjungi rumahnya di Jogja, untuk tanya persiapan dan berbincang dengan orang tuanya. Karena Fikri minta aku yang menemaninya ke Malang, jadi aku meyakinkan ke orang tuanya bahwa Fikri akan baik-baik saja selama di sana. Orang tua Fikri sangat baik dan memberi kebebasan Fikri untuk mengikuti kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang membuat Fikri memiliki rasa percaya diri lebih besar dibanding teman-teman deaf yang lainnya.

           Menyusun rencana keberangkatan dan kepulangan sudah selesai diperhitungkan. Hari Sabtu jam 09.00 adalah interview jurusan yang akan diambil di UB. Maka Fikri datang ke Solo pada hari Jumat sore untuk istirahat sejenak dan malam harinya kami berangkat. Kami sudah memesan tiket travel untuk memudahkan perjalanan karena kami belum pernah mengunjungi Kota Apel itu. Dan agen travel menjanjikan pukul 21.00 sampai di kosku untuk menjemput kami. Jam sudah menunjukkan pukul 21.45, belum ada tanda-tanda travel datang dan aku menelpon agen travelnya berkali-kali tapi nomer tidak aktif. Panik! Emosi!

          “Kita naik motor aja”, kata Fikri dengan menggunakan bahasa isyarat.

          Melewati hutan Ngawi dengan jalan berliku tanpa lampu penerangan serta ketakutanku lebih kepada bis Sumber Kencono yang mungkin saja sopirnya nyetir sambil tidur. “Tidak! Bahaya! Kita tunggu 5 menit lagi aja, pasti travel datang,” jawabku memakai bahasa isyarat.

          Baiklah, lima menit sudah berlalu. Fikri semakin bingung dan wajahnya terlihat seperti ingin gantung diri. “Ayo naik motor aja!” ajakku. “Oke kita berangkat ke Malang naik motor, tadi bilang gak mau naik motor. Woooo,” Fikri berkata dalam bahasa isyarat dengan bersemangat.

          “Kita naik motor, tapi ke terminal” aku berlalu sambil ambil motor. “Kalau besok kita terlambat piye?” Fikri masih khawatir.

          “Diam dan cepat naik!”, kataku dan langsung menuju terminal Tirtonadi (terminal di Solo).

          Sampai di Terminal Tirtonadi dalam 15 menit. Bingung! Bis tujuan Malang sudah tak ada! Tuhan…beri kami jalan. Seperti biasa, kalau di terminal aku merasa bak seorang artis kampung papan atas, banyak yang kepo menanyakan aku akan pergi kemana. Aduhai beginilah rasanya jadi artis, mau pergi saja banyak yang ingin tahu.

          Ada bis berwarna biru tujuan Surabaya, mungkin ini pilihan terakhir kami untuk menuju Malang. Waktu masih terus mengejar.
          “Pak, masih ada yang kosong gak?” tanyaku.
          “Penuh mas. Tapi kalau mau ada kursi cadangan untuk dua orang,” jawab sopir. Tak ada bayangan apapun apa yang dimaksud si sopir tentang “kursi cadangan”.
          “Kita bisa berangkat, tapi cuma ada kursi cadangan, gimana?” tanyaku pada Fikri. “Kursi cadangan? Apa itu?” tanyanya bingung.
          “Hmm mungkin kita nanti di Malang akan bermain sepak bola sebagai pemain cadangan,” jawabku.
          “Haha.. Bodoh,” kepalan tangan Fikri mendarat mulus di kepalaku.

          Kita masuk bis tujuan Surabaya itu, dan akhirnya kami mengetahui apa yang dimaksud dengan “kursi cadangan”. Semacam menikmati hidangan bakso di emperan jalan dan kita duduk di warung itu. KURSI PLASTIK!! Duduk di pojok paling belakang tepat di samping toilet, kaki menahan getaran bis supaya tak jatuh dari singgasana kehormatan “kursi cadangan” ini, sangat nikmat!

          Selama enam jam perjalanan menuju Kota Pahlawan diiringi oleh kelelahan dan segala kata-kata “sanjungan” manis untuk sang travel abal-abal. Tepat pukul 5.30 sampailah di Surabaya. Cukup singkat menginjakkan kaki di kota ini karena harus segera menuju Malang. Jam 06.00 bis menuju Malang berangkat.

          Pukul 08.00 kami tiba di Terminal Arjosari Malang. Sudah dekat dengan kampus UB. Segera bertanya orang kemana arah UB dan naik apa. For your information, di Malang sangat banyak angkot. Di dalam kota semua transportasi umumnya adalah angkot.




Universitas Brawijaya (UB) Malang

          Akhirnya kami tiba di tujuan, di tempat impian Fikri. Tepat pukul 8.00 dan kami harus mencari tempat membersihkan diri. Masjid, satu-satunya pilihan bagi kami. Dengan memasang muka keren, tepis rasa malu, dan aku izin ke penjaga masjidnya. Cuek saja ada mahasiswa lalu lalang melihat kami yang menenteng handuk di area kampus. Oh Tuhan, airnya sangat dingin. Mungkin mandi pagi cukup, gak mandi lagi!

          Persiapan selesai dan kami berjalan menuju Rektorat, yang merupakan tempat diadakannya wawancara untuk menjaring calon mahasiswa disabilitas. Kampus UB rindang, trotoar lebar dan nyaman, sehingga banyak mahasiswa yang berjalan kaki di sini. Selain itu trotoar ini menjadi aksessibel bagi yang memiliki keterbatasan fisik jika menggunakan kursi roda. Cuaca Malang yang cukup dingin tak membuat kami berkeringat berjalan menuju Rektorat yang jaraknya cukup jauh.

          Masuk ke dalam salah satu ruang di Rektorat yang ternyata sudah banyak yang datang dan melakukan interview. Banyak orang tua yang mengantarkan anaknya, ada juga yang diantar oleh teman atau saudaranya. Sepanjang perjalanan dan sampai di ruang ini aku dan Fikri memang ngobrol pakai bahasa isyarat, banyak yang mengira aku tuli. Jadi lucu melihat ekspresi orang yang kebingungan berbicara denganku karena kesulitan mencari-cari formasi tangan hehe.

          Ruangan dipenuhi oleh calon mahasiswa disabilitas yang sedang diwawancarai mengenai jurusan apa yang diinginkannya. Aku melihat percakapan antara calon mahasiswa tuli dengan dosen yang dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat, si calon mahasiswa itu ingin masuk jurusan Kedokteran. Berkali-kali dosen itu bilang bahwa untuk kuliah di jurusan Kedokteran tidak boleh mengalami gangguan pendengaran. Aku salut dengan kegigihan sang calon mahasiswa itu yang tetap bersiteguh ingin masuk Kedokteran.

          “Misal kamu tidak masuk di jurusan Kedokteran, kamu pilih jurusan apa?” tanya dosen. “Aku tidak mau jurusan lain!” jawabnya mantap. Semangatnya sangat tinggi untuk masuk jurusan ini. “Kenapa kamu ingin sekali masuk jurusan Kedokteran?”, dosen bertanya lagi. “Karena aku ingin menyembuhkan orang yang sakit,” kata si calon mahasiswa dengan menggunakan bahasa isyarat. Aku melihat wawancara itu dari kejauhan sungguh tercegang dengan motivasinya.

          Kembali melihat Fikri yang sedang wawancara. Seperti dugaanku sebelumnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dia. Fikri sejak awal memang menginginkan masuk jurusan Seni Rupa. Dengan kemampuannya selama di SMK Seni Rupa Jogja, tidaklah sulit jika sewaktu-waktu panitia ingin melihat kemampuan Fikri. Berbagai pertanyaan lancar dijawab Fikri, seperti seni rupa menurutmu apa, sebutkan contoh-contoh karya yang termasuk seni rupa, dan berbagai macam tentang seni rupa. Dia menjawab dengan tepat, karena sebelumnya dia sudah membaca mengenai seni rupa.

          Fikri bilang sedikit kesulitan dalam menjelaskan ke dosen, karena penerjemahnya baru belajar bahasa isyarat dua bulan. Fikri sempat sedikit marah karena mengulang-ulang mengeja kata “d-i-s-k-r-i-m-i-n-a-s-i” saat dia menjelaskan mengenai keadaan para disabilitas. “Sudah jangan marah, besok kalau kamu diterima di sini kamu ajari volunteer UB bahasa isyarat supaya mereka lancar bahasa isyarat,” hiburku.

          Kelalahan perjalanan semalam mulai melanda kami. Tenaga dan mata sudah tak kuat menahan kantuk. Kami mencari masjid di luar UB untuk shalat Dzuhur dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. Lantai dingin masjid berhasil membawa kami ke alam mimpi dengan cepat.

          Dalam menggapai mimpi tak semudah menidurkan kepala di bantal, banyak tantangan dalam perjalanan meraih mimpi itu. Menggapai pendidikan setinggi-tingginya tak hanya milik orang “normal”, teman-teman tuli pun bisa meraihnya. Berani bermimpi dan gapai mimpi itu!!

3 comments:

  1. hahaha..ya memang.. terima kasih utk membaca di atas..nikmatiku.. :)

    ReplyDelete
  2. Good Luck Fikri...
    Thank's mas Rully Anjar, this story have inspired me.... :)
    do what you want to do! that's the key...

    SUCCES IS YOURS!

    ReplyDelete